Kerak telor, makanan khas Betawi ini mungkin telah jarang beredar di pasaran. Memang, biasanya kerak telor banyak dijumpai saat pesta rakyat Jakarta seperti ulang tahun Kota Jakarta.
Meski demikian masih ada pedagang kerak telor yang masih berjualan walau bukan saat berlangsungnya pesta rakyat tetapi di tempat-tempat tertentu, seperti di Museum Sejarah Jakarta, Kawasan Kota Tua.
Hamzah, salah satu pedagang kerak telor yang ada di kawasan museum. Kerak telor buatan Hamzah dihargai Rp 15.000. Menurutnya, bahan utama dalam membuat kerak telor sangat sederhana, yaitu telur ayam atau telur bebek.
Biasanya, sebelum membuat pesanan pelanggan, Hamzah selalu menanyakan terlebih dahulu telur apa yang digunakan, ayam atau bebek. Harganya tak berbeda untuk penggunaan dua jenis telur tersebut.
Telur diaduk dengan beras ketan yang dicampur dengan serundeng dan bumbu-bumbu lainnya pada wajan kecil di atas tungku yang berisi arang. Setelah agak kering, lalu wajan tersebut dibalik menghadap ke tungku berisi arang. Saat pembalikan itulah, proses menjadi "kerak".
Meski dibalik, tetapi adonan yang ada pada wajan tidak tumpah, karena, menurut Hamzah, tekstur beras ketan yang lengket yang membuat adonan tetap menempel pada wajan. Arang pun menjadi salah satu kunci. Arang yang digunakan adalah arang batok. Karena, jika menggunakan arang kayu biasa, bisa-bisa serpihan arang menempel pada adonan
Setelah berwarna agak kecoklatan, berarti kerak telor siap disantap. Jangan khawatir, meskipun namanya kerak telor, bukan berarti rasanya keras layaknya kerak sungguhan
Rasa kerak telor tetap empuk, dan sedikit garing, perpaduan antara telur dan beras ketan. Wangi bekas bakaran arang pun menjadi citarasa tersendiri. Jangan lupa, saat menyantap, diatasnya ditaburi dengan serundeng.
"Ngungsi" di Museum
Hamzah menjajakan dagangannya dengan membawa serta dua buah keranjang besar yang dipikul ke dalam halaman belakang Museum Sejarah Jakarta.
Mulanya, Hamzah berjualan di luar museum. Namun, karena penertiban yang dilakukan petugas keamanan kepada para pedagang kaki lima yang ada di kawasan Kota Tua, dia dan beberapa pedagang sepertinya akhirnya memindahkan lapaknya ke dalam museum, tentunya dengan seizin pihak museum.
"Iya dibolehin masuk sama pihak museum tapi kan yang jual makanan khas aja. Kaya kerak telor, selendang mayang, ada juga toge goreng," papar Hamzah.
Menurut Hamzah, walaupun berdagang di dalam museum, dia tak memasang harga berbeda dengan pedagang yang berjualan di luar museum. Hanya berbeda tempat. Bahkan, Hamzah mengatakan, dirinya lebih senang berjualan di lingkungan museum karena "lebih aman" dari penggusuran petugas keamanan.
Karena berjualan di lingkungan museum, Hamzah pun menggelar dagangannya sesuai dengan jam buka museum. Setelah museum tutup, barulah ia memindahkan lapaknya keluar museum.
"Ya kalau yang beli mah lumayan, ada aja dari pengunjung tiap hari. Kalau sepi itu hari Senin, kan museum tutup," katanya.
No comments:
Write comments